dear you,
lama ga buka ni blog haha, walaupun ga ada yang liat tp aku tetep sayang sama ni blog :*
udah 17, haruse udah bertanggung jawab yak, banyak tugas tapi blm bisa tanggung jawab. sibuk sih *eaakk sebenere ada tapi cuman ni males yang ga bisa di kontrol. haahhh.. doa kan yang terbaik ya
Kamis, 15 Agustus 2013
Takdir Tersembunyi di Balik Hujan
#Bilqis Rainaprajna
“Allahu Akbar, Allaaahhu Akbar.. Allaaaaaaaahhu
Akbar, Allahaahu Akbar..”
Yaa, suara yang ku kagumi
berkumandang dengan syahdunya, membangunkan ku dari lelapnya tidur berselimut
khayalan tentangmu, dial ah pemiliknya, siapa lagi? Anak ustadz yang sekarang
menjadi idola semua remaja putri di sini. Hmm, berapa lama lagi aku harus
memendam kekaguman ku. Entah, kenapa takdir Engkau begitu rumit aku pahami.
Engkau pertemukan aku dengan seseorang yang sangat mungkin mustahil aku
dapatkan. Dengan hati yang berbeda ini, dengan segala takdir yang terjadi,
semakin membuat kehidupan ini sulit aku mengerti.
Pagi yang dingin, kabut menemani
ku sepanjang penantian
ku di depan
jendela menunggu sosok yang menawan itu muncul, sekedar penghangat di
sela
dingin nya batinku. Hmm hujan semalam membuat kaki ini beku, membekukan
suasana desa ini pula. Begitu tenang desa ini, setenang hatiku ketika
melihat
punggung mu sekilas lalu berjalan perlahan dan menjauh, pergi. Hanya
sekilas namun
mampu menghapus rindu ini. Akan kah selamanya pertemuan kita seperti
ini?
Rasanya satu sekolah pun percuma.
3 tahun satu kelas tidak membuat mu melirik ku sama sekali. Sebegitu tertutup
kah dirimu? Atau sebegitu buruk kah aku untuk mu? Berharap di hari kelulusan
ini aku bisa mengungkapkan semuanya kepada mu. Sebongkah rasa yang selalu
menghantuiku setiap saat. Bagaimana bisa aku mencintai seseorang yang jauh
berbeda kepercayaan nya dari ku? Berat hati ini menerima kenyataan yang di
takdirkan. Setiap hari di hantui rasa bersalah, dusta, bingung dan pahit. Tapi
entah, disetiap kepahitan yang aku rasakan, ada sedikit rasa hangat yang
meliputi ruang jiwa ku setiap pagi. Mendengarkan suara nya yang berkumandang di
desa ini, kehangatan yang belum pernah kurasakan. Kehangatan yang memaksa
fikiran dan batinku untuk mengenang Ibu. Bagaimana bisa? Semua perasaan ini
selalu menghantui ku setiap saat. Tuhan aku mengharapkan wahyu Engkau, Aku
mengharapkan suatu cahaya yang bisa mengeluarkan aku dari gelapnya hati dan
perasaan ini.
~~~
“dann.. nilai tertinggi di
sekolah kita di capai oleh.. Hanif Mathorun”
Suara tepuk tangan memenuhi
atmosfer smk farmasi kali ini. Sudah ku duga, pasti ia, siapa lagi? Selamat ya.
Setetes air menuruni lembah bibir ku, seulas senyum aku sembahkan untuk mu,
malaikat ku. Semoga saja ini bukan terkahir kalinya aku melihat cahaya indah di
tawa mu. ia menuruni panggung, lalu disambut teman-teman cowok lain. Ketika
semua mata tidak menuju ke arahnya lagi, aku beranikan diri melangkah
mendekatinya.
“Hey,..Congrats ya.”
“Eh, km.. Emmt iya makasih.” Ia
tersenyum, suasana pun hening sejenak.
Suara sorak dan alunan music rege pun tidak berhasil memecahkan
keheningan di antara kami. Kurasakan dua jantung yang bergetar dan berdetak
beriringan. Apa kah Ia merasakan nya juga?
“Aku..” Suara kita beradu dan
menyatu.
“Km dulu deh.” Lagi-lagi beriringan.
“Kayae aku di cari umi ku, aku
duluan ya, maaf.” Dia menyunggingkan sebuah senyuman hangat nya. Kedua kakinya
melangkah perlahan lalu menghilang di antara tembok gedung. Gagal. Mungkin
memang getaran di jantung ini hanya aku yang merasakan. Getaran dan detakan
yang bertepuk sebelah tangan.
Selamat Tinggal malaikat ku.
Tidak akan ada lagi Bilqis yang menanti mu setiap pagi. Tuhan tunjukkan kepada
ku cara mendapatkan pengganti dari kehangatan yang ku rasakan selama ini. Aku
membutuhkan nya untuk bisa bertahan
hidup.
~~~
Aku masih terjatuh dan tenggelam
dalam kejadian semalam. Menambah kegundahan di dalam hati nurani dan batin ini.
“Bilqis sayang, sebelum kamu
pergi ayah ingin menyampaikan sesuatu. Tentang ibu mu yang manis.” Ayah
tersenyum tapi bibir ayah gemetar. Tangan nya memegang kotak kado berwarna
biru, Ia duduk meletakkan kado di samping
nya dan seraya menggenggam tanganku. Aku jatuh di pelukan Ayah.
Satu-satunya bahu yang aku punya. Di luar terdengar gerimis hujan mengiringi kisah tentang Ibu malam ini.
“Saat kamu masih dalam kandugan,
Ibu sangat menyanyangi kamu nak. Dia menceritakan berbagai hal, membagi bersama
semua kenangan pahit dan manis kehidupan Ayah dan Ibu. Mendengarkan mu music
yang baik. Berharap kelak kamu jadi orang yang baik pula.”
“Tapi nak,..” Setetes air mata
membasahi tangan ku. Suara Ayah bergetar, menandakan begitu berat hal yang
diketahuinya. Begitu susah Ia jujur dengan nuraninya sendiri.
“Setiap Ayah pulang kerja. Dari
halaman rumah terdengar Ibu mu membacakan lantunan nada yang indah sayang,
sesuatu yang memberikan kehangatan pada diri Ayah. Entah apa kamu juga
merasakan nya di dalam sana.” Hening, Aku tersentak.
“Ibu mu membacakan ini.” Ayah
membukakan kotak itu. Sebuah buku, bukan, sebuah kitab berwarna keemasan.
“Ayah tak ingin lagi
menyembunyikan ini semua. Kamu sudah besar nak, tahu mana yang benar dan mana
yang salah tanpa harus Ayah mengatakan nya, dengarkan hati nurani mu nak. Ibu
dan Ayah tidak memaksamu untuk mengikuti kepercayaan satu sama lain. Ayah belum
bisa menjadi Suami yang baik nak. Ini satu-satunya kesempatan yang Ayah punya,
untuk menjadi seorang Ayah yang baik buat kamu nak.” Air mata Ayah menetes
perlahan menuruni kerutan-kerutan di wajahnya. Tak kuasa aku melihat Ayah yang
semakin tua. Aku memeluknya.
“Aku sayang Ayah, Ayah adalah
Ayah terbaik yang aku punya..”
Air mataku sukses terjatuh lagi
dari sumber kebingungan ini. Mengenang kejadian ini tidak menyelesaikan
kegundahan ku, tidak mendamaikan batin ku. Terdengar suara langkah kaki dari
pintu kamar Aisyah, spontan aku menghapus semua air kebimbangan ini.
“Hey, km gak pa pa kan dear?” Ku
lihat mata yang indah dan suatu kehangatan di wajah Aisyah. Apa ini berkat kain
panjang yang menutupi rambut nya? Atau hanya karna kegelapan jiwaku semata. Dia
terlihat bercahaya.
“I’m fine” Ku paksakan senyum ini
keluar. Aisyah mengambil sehelai tisu. Menghapus air yang tak henti-hentinya
mengalir di sudut mata ini.
“Aku butuh kamu,” Setengah
terisak aku mengatakan nya.
“Aku butuh kamu membacakan ini.”
Aku menyodorkan kitab emas itu ditangan Aisyah. Ia terkejut.
“Aku butuh kamu membacakan ini
Aisyah dan memberiku cahaya untuk keluar dari kebimbangan.”
Aisyah terperangah, “Bilqis,
dalam agama ku kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk mengikuti kepercayaan
kami.”
“Aku tidak memaksamu, aku dengan
suka rela ingin mengetahui apa yang sebenarnya Ibu ku inginkan.”
Air mata itu kembali menetes,
“Itu peninggalan ibu yang terakhir untuk ku Aisyah.”
“Maksut mu, jadi Ibu mu itu?” Aku
tahu Aisyah mengerti hal ini, tanpa aku harus menceritakan apa yang Ayah bilang
semalam.
bersambung~~~ :)
Langganan:
Postingan (Atom)